Kamis, 07 Oktober 2010

Hukum Tata Negara Darurat

Dalam praktik, disamping kondisi negara dalam keadaan biasa ( ordinary condition ) atau normal ( normal condition ), kadang-kadang timbul atau terjadi keadaan yang tidak normal. Keadaan yang menimpa suatu negara yang bersifat tidak biasa atau tidaknrmal itu memerlukan pengaturan yang bersifat tersendiri sehingga fungsi-fungsi negara dapat terus bekerja secara efektif dalam keadaan yang tidak normal itu.
1. Istilah dan Pengertian Hukum Tata Negara Darurat
( a ) Istilah Hukum Tata Negara Darurat
Beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut Hukum Tata Negara Darurat di berbagai negara, sebagaimana yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut:
1. state of emergency dipakai di Irlandia, Afrika Selatan, India, Pakistan, dan sebagainya;
2. state of civil emergency dipakai di Belanda;
3. state of siege ( etat d’siege ), dipakai di Prancis, Belgia, Argentina, Brasil, Cile dan sebagainya;
4. state of war, dipakai di Belanda, Italia dan sebagainya;
5. state of internal war, dipakai di Uruguay;
6. estado de alerta, dipakai di Spanyol
7. state of exepcion, dipakai di Zaire;
8. estado de excepcion, dipakai Spanyol juga;
9. estado de sitio ( siege ), dipakai di Spanyol juga;
10. state of public danger, dipakai di Italia;
11. state of public emergency, merupakan istilah yan digunakan oleh PBB;
12. state of catastrophe, dipakai di Cile;
13. state of defence, dipakai di Jerman, Namibia dan sebagainya;
14. state of tension, dipakai di Jerman;
15. state of alarm, dipakai Aljazair;
16. state of urgency, dipakai di Aljazair dan sebagainya;
17. state of national defence, dipakai di Namibia;
18. state of national necessity, dipakai di Madagaskar;
19. state of special power, dipakai di Uruguay;
20. state of suspension of guarantee ( suspension of individual security ), dipakai di Uruguay;
21. general of partial mobilisation, pernah dipakai di Uni soviet dan sampai sekarang masih dipakai di Albania;
22. military regime, dipakai di Zaire;
23. martial law, dipakai di Amerika Serikat, Inggris, Polandia dan sebagainya;
24. keadaan darurat;
25. keadaan bahaya ( dalam Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 );
26. keadaan luar biasa;
27. keadaan kegentingan yang memaksa ( dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 ).

Berikut penjelasan Jimly Asshiddiqie tentang istilah Hukum Tata Negara Darurat tersebut diatas:
“Istilah-istilah tersebut diatas dipakai tergantung kepada kandungan makna yang dipahami di masing-masing bahasa yang berlaku di tiap-tiap negara. Istilah ‘ state of emergency’, misalnya, dipakai di banyak negara, seperti dalam naskah-naskah konstitusi Irlandia, Afrika Selatan, Pakistan, dan India. Sementara itu, istilah ‘state of siege’ atau ‘ etat d’siege’ dipakai dalam undang-undang dasar Prancis dan berbagai negara berbahasa Prancis lainnya, terutama negara-negara bekas jajahan Prancis. Hal ini berbeda sekali dengan istilah yang biasa digunakan di Inggris dan juga dipakai dalam konstitusi Amerika Serikat. Istilah ‘Martial Law’ ini, selain digunakan di Inggris dan di Amerika Serikat, juga dipakai dalam Konstitusi Polandia, dan banyak lagi negara lainnya.”

Sementara itu Prof. Mr. Sihombing, dalam bukunya, menggunakan istilah Hukum Tata Negara Darurat dan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., juga menggunakan istilah Hukum Tata Negara Darurat.
( b ) Pengertian Hukum Tata Negara Darurat
Menurut Herman Sihombing, pengertian hukum tata negara darurat adalah sebagai berikut :
“Hukum Tata Negara Darurat ( HTN Darurat ) selaku hukum tata negara darurat dalam keadaan bahaya atau darurat , ialah rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, kedalam kehidupan biasa menurut peraturan Perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.”

Sementara itu, Jimly Asshiddiqie mengemukakan tentang Hukum Tata Negara Darurat, sebagai berikut:
“Oleh karena itu, di dunia akademis, khususnya Hukun Tata Negara, perlu dibedakan antara Hukum Tata Negara yang berlaku dalam keadaan biasa atau normal dan Hukum Tata Negara yang berlaku dalam keadaan luar biasa atau tidak normal. Hukum Tata Negara yang terakhir inilah yang kita namakan Hukum Negara Darurat”.








2. Klasifikasi Istilah Hukum Tata Negara Darurat
Herman Sihombing membedakan Hukum Tata Negara Darurat kedalam beberapa jenis Hukum Tata Negara Darurat baik dari segi corak, bentuk dan sumbernya, sebagai berikut:
1. Hukum Tata Negara Darurat Objektif ( Objective Staatsnoodrecht )
2. Hukum Tata Negara Darurat Subjektif (Subjective Staatsnoodrecht)
3. Hukum Tata Negara Darurat Tertulis (Geschreven Staatnoodrecht )
4. Hukum Tata Negara Darurat Tidak Tertulis ( Ongeschreven Staatsnoodrecht ).
Jimly Asshiddiqie memberikan penjelasan tentang klasifikasi Hukum Tata Negara Darurat yang disampaikan oleh Herman Sihombing sebagai berikut :
“Oleh para sarjana, Hukum Tata Negara Darurat dalam arti ‘noodstaatsrecht’ itu kadang-kadang dibedakan dari pengertian Hukum Tata Negara Darurat dalam arti ‘staatsnoodrecht’. Sementara itu, menurut sejarahnya, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia sejak aman Hindia Belanda dibedakan dalam tingkatan darurat dan darurat perang.”

Selanjutnya Jimly Asshiddiqie menjelaskan sebagai berikut :

“Istilah Hukum Tata Negara Darurat ( HTN Darurat ) itu dipakai sebagai terjemahan perkataan ‘staatsnoodrecht’ yang membahas mengenai hukum negara darurat dan negara dalam keadaan bahaya ( nood ) itu. Oleh sebab itu, harus dibedakan anatara ‘staatsnodrecht’ dan ‘nodstaatsrecht’. Perkataan ‘nood’ dalam ’staatsnoodrecht’ menunjuk kepada keadaan darurat negara, sedangkan ‘nood’ dalam ‘staatsrecht’ menunjuk kepada pengertian keadaan hukumnnya yang bersifat darurat.

Penjelasan selanjutnya dari Jimly Asshiddiqie sebagai berikut:
“Di samping itu, pokok soal dalam ‘noodstaatsrecht’ adalah ‘staatsrecht’, sedangkan dalam ‘staatsnodrecht’ adalah ‘staatsnood’. Artinya, yang dipersoalkan dalam istilah ‘noodstaatsrecht’ itu adalah ‘hukum tata negaranya yang berada dalam keadaan darurat’, sedangkan dalam istilah ‘staatsnodrecht’ negaranya yang berada dalam keadaan darurat sehingga hukum yang berlaku adalah hukum yang memang dimaksudkan untuk berlaku dalam keadaan darurat. Dengan demikian, pengertian hukum yang dimaksud dalam ‘staatsnoodrecht’ lebih luas daripada ‘noodstaatsrecht’ yang hanya menyangkut hukum tata negara saja. Dengan demikian pula, istilah yang dipakai cukup dua saja, yaitu; (i) hukum tata negara darurat sebagai gabungan antara pengertian ‘noodstaatsrecht’ dan ‘staatsnoodrecht’ dalam arti objektif; dan (ii) hukum tata negara subjektif sebagai pengganti atau terjemahan istilah ‘staatsnoodrecht’ dalam arti subjektif dan tidak tertulis.”

Selasa, 05 Oktober 2010

azas peraturan per-uu-an

Dalam hukum terdapat azas perundang-undangan, antara lain :
1. Azas legalitas, berisikan "nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali", yang artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali telah ada ketentuan atau undang-undangnya. Hal ini dapat dipahami bahwa segala perbuatan pelanggaran atau kejahatan apapun tidak dapat dipidana atau diberi hukuman bila tidak ada undang-undang yang mengaturnya.
2. "Lex specialis derogat legi generali", artinya hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Atau segala undang-undang ataupun peraturan yang khusus mengabaikan atau mengesampingkan undang-undang yang umum. Contoh : Apabila terdapat kekerasan dalam rumah tangga, maka pelaku dapat dikenai UU KDRT, bukan KUHPidana. Pemakaian hukum yang khusus ini antara lain karena hukumannya yang lebih berat dibandingkan dengan KUHPidana.
3. "Lex posteriori derogat legi priori", artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Maksudnya ialah, UU yang baru mengabakan atau mengesampingkan UU yang lama dalam hal yang sama. Dengan kata lain UU yang baru ini dibuat untuk melengkapi dan menyempurnakan serta mengoreksi UU yang lama. Sehingga UU yang lama sudah tidak berlaku lagi.
4. "Lex superior derogat legi inferiori", artinya hukum yang urutan atau tingkatnya lebih tinggi mengesampingkan atau mengabaikan hukum yang lebih rendah. Bila terdapat kasus yang sama, akan tetapi ketentuan undang-undangnya berbeda, maka ketentuan undang-undang yang dipakai adalah UU yang tingkatnya lebih tinggi. Contoh : UU lebih tinggi dari PP, maka PP diabaikan dan harus berpatokan pada UU.

interpretasi hukum

1. Penafsiran Undang-Undang Secara Tata Bahasa (Gramatikal), yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang;
2. Penafsiran Undang-Undang Secara Sistematis, penafsiran sistematis menitik beratkan pada kenyataan bahwa undang-undang tidak terlepas, tetapi akan selalu ada hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya sehingga seluruh perundang-undangan itu merupakan satu kesatuan yang tertutup, yang rapi dan teratur.
3. Penafsiran Undang-Undang Secara Historis, adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat terjadinya suatu undang-undang itu dibuat.
4. Penafsiran Undang-Undang Secara Sosiologis (Teleologis), yaitu penafsiran yang dilakukan dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-undang di dalam masyarakat.
5. Penafsiran Undang-Undang Secara Autentik, merupakan suatu penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang.
6. Penafsiran Undang-Undang Secara Ekstensif, adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan rundang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalam, misalnya “aliran listrik” termasuk juga disamakan dengan “benda”.
7. Penafsiran Undang-Undang Secara Restriktif, adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang.
8. Penafsiran Undang-Undang Secara Analogis, adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang terdapat dalam undang-undang.
9. Penafsiran Undang-undang Secara A Contrario, adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Maka dengan berdasarkan perlawanan pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak diliputi oleh undang-undang yang dimaksud atau berada di luar ketentuan undang-undang tersebut.

Kamis, 02 September 2010

Nasib TKI NTB di Negeri Jiran

(Sawaludin susanto)-pasca memanasnya hubungan RI-Malaysia terkait berbagai kasus yang muncul saat-saat sekarang ini juga berdanpak pada tenaga kerja indonesia(TKI). NTB sebagai pemasok TKI terbesar menjadi salah satu daerah/provinsi di Indonesia yang kena imbasnya. dengan memanasnya hubungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Malaysia membuat pemerintah Indonesia harus melakukan Moratorium (pemberhentian sementara) pengiriman TKI ke Negeri Jiran tersebut.
tentunya hal ini membuat para pencari nafkah (warga NTB) yang biasa ke malaysia menjadi gundah dan gelisah. tidak sedikit pula masyarakat NTB khusunya lombok yang gelisah memikirkan nasib keluarga dan sanak saudara mereka karena hubungan RI dan Malaysia yang semakin memanas.
ketakutan itu terjadi karena wacana gancatan senjata yang di luncurkan dari sebagian kecil masyarakat Indonesia. tentunya ini harus menjadi poerhatian pemerintah kita supaya memperhatikan nasib TKI yang ada di Negeri Jiran dan juga perasaan keluarga yang di tinggal disini.

Antara Diplomasi dan Gencatan Senjata

oleh ; SAWALUDIN SUSANTO, SH.

Suasana ketegangan yang menyelimuti hubungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan negara tetangga Malaysia menjadi salah satu fokus masyarakat indonesia pada saat-saat ini (02/09/10). tidak dapat dipungkiri hubungan kedua Negara yaitu RI dan Malaysia merupakan berita yang memenuhi media masa, cetak dan elektronik. hubungan dua negara yang mempunyai budaya dan bahasa yang mirip tersebut dilatar belakangi oleh berbagai hal. diantaranya mulai dari sengketa perbatasan ke dua negara yaitu kasus ambalat dan terakhir yaitu terjadinya penangkapan 3 petugas perairan indonesia dengan berbagai alasan pembenar dari malaysia. akan tetapi, yang lebih peliknya lagi pada hari kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke - 65 ketiga petugas tersebut harus disamakan dengan 7 nelayan Malaysia. hal ini terjadi karena petugas perairan Indonesia harus bebas dengan di barter dengan nelayan Malaysia yang sebelumnya tertangkap menangkap (maling) ikan di perairan Indonesia.
berbagai reaksi dan tanggapanpun muncul dari seluruh rakyat indonesia mulai dari demo yang disertai dengan pembakaran bendera malaysia sampai dengan pelemparan kedutaan Malaysia dengan kotoran Malaysia. reaksi tersebut tentunya mendapat tanggapan dari menteri luar Negeri Malaysia dengan mengungkapkan kekecewaan dan menganggap harga diri Negeri Jiran tersebut di injak-injak.
hal ini menuntut Presiden SBY harus bicara dan bersikap. akhirnya presiden melakukan pidato kenegaraan yang intinya permasalahan antara Indonesia dan malaysia harus segera diselesaikan melalui jalur diplomasi. mulai dari masalah perbatasan dan berbagai masalah yang lainnya. sikap presiden SBY tersebut sangat kontras dengan sikap Mantan Presiden Soekarno pada saat konflik dengan malaysia yang mempunyai sikap tegas dengan mengatakan bahwa kedaulatan Bangsa indonesia merupakan harga mutlak yang tidak bisa diganggu gugat.
Tentunya hal ini mendapat berbagai reaksi dari seluruh Indonesia. mulai dari orang yang senang dan tak sedikit pula yang kecewa. kekecewaan tersebut tidak lepas dari keinginan untuk melakukan tindakan tegas dengan ganyang Malaysia.
semoga saja hubungan RI- Malaysia cepat membaik ya.
menurut kalian harus bagaimana....??????

contoh surat jual beli bentuk sederhana

SURAT PERJANJIAN JUAL BELI TEMPAT DAGANG
Pada hari ini Kamis Tanggal 28 Juli 2010 kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sofian Hadi
Alamat : Selagik , Terara Lotim
Pekerjaan : Wiraswasta
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Penjual.
Membuat perjanjian jual beli dengan :
Nama : Mahmudin
Alamat : Tanak Beak
Pekerjaan : Wirasawasta
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Pembeli.

Dengan ini Pihak Penjual menjual 2 (dua) lokal tempat dagang kepada Pihak Pembeli yang berlokasi di Pasar Umum Narmada seharga Rp. 32.500.000,-(Tiga Puluh Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
Pihak pembeli akan membayar harga tersebut diatas sebanyak 2 (dua) kali angsuran. Angsuran pertama akan dibayar pihak pembeli sebanyak Rp. 20.000.0000,- (Dua Puluh Juta Rupiah) kepada pihak penjual pada tanggal 28 Juli 2010. Sedangkan sisanya sebanyak Rp.12.500.000,-(Dua Belas Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) akan dibayar oleh pihak pembeli kepada pihak penjual pada selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah pembayaran tahap pertama.
Pihak pembeli dapat menguasai secara penuh 2 (dua) lokal tempat dagang yang tersebut di atas apabila sudah melunasi pembayaran secara penuh. Apabila pihak pembeli belum melunasi pembayaran secara penuh maka tempat dagang tersebut di atas masih atas hak milik /penguasaan pihak penjual dan pihak pembeli tidak berhak menempati 2 (dua) lokal tempat dagang tersebut.
Demikian surat perjanjian jual beli ini kami buat tanpa ada paksaan dari manapun dan di buat dalam keadaan sadar dan dapat digunakan sebagai kekuatan hukum yang mengikat.

Selagik, 28 Juli 2010
Pihak Pembeli Pihak Penjual



(Mahmudin) (Sofian Hadi)

Contoh Surat Pernyataan

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan/cap jempol dibawah ini:
Nama : .........................................
Jenis Kelamin : .........................................
Tempat, Tanggal, Lahir : .........................................
Kewarganegaraan : .........................................
Agama : .........................................
Pekerjaan : .........................................
Alamat : .........................................
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa saya.................................. ..........................................................................
...........................................................................
..................................
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
............, 1 Mei 2010
yang membuat pernyataan



(...........................)



Ket: anda dapat merubah terkait dengan hal/dalam hal apa anda membuat surat pernyataan tersebut.

Teori Pemisahan Kekuasaan Negara

(Sawaludin Susanto, SH), Berbicara tentang kekuasaan kehakiman dalam suatu Negara hukum tidak akan ada artinya apabila kekuasaan penguasa Negara masih bersifat absolut dan tidak terbatas. Sehingga kemudian muncul untuk membatasi kekuasaan penguasa Negara, agar dalam menjalankan pemerintahan tidak bersifat sewenang-wenang. Dalam upaya membatasi kekuasaan penguasa, perlu diadakan pemisahan kekuasaan Negara kedalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarkhi (Raja absolut). Teori mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan Negara menjadi sangat penting artinya untuk melihat bagaimana posisi atau keberadaan kekuasaan dalam sebuah struktur kekuasaan Negara. Gagasan mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan Negara mendapatkan dasar pijakan, antara lain, dari pemikiran John Locke dan Montesquieu.
a. John Locke
Dalam bukunya yang berjudul “Two treaties Of Goverment´John Locke mengusulkan agar kekuasaan di dalam Negara itu dibagi-bagi kepada organ-organ Negara yang berbeda. Menurut John Locke, agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam Negara kedalam tiga macam kekuasaan, yaitu :
a. Kekuasaan legislatif (membuat Undang-Undang)
b. Kekuasaan Eksekutif ( Melaksanakan Undang-Undang)
c. Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan Negara-Negara lain.
b. Montesquieu
Melaui bukunya “Lesprit des lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang diwarkan John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya Negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan Negara kedalam tiga poros kekuasaan yaitu:
a. Kekuasaan perundang-undangan (Legislatif)
b. Kekuasaan melaksanakan pemerintahan, eksekutif dan
c. Kekuasaan kehakiman, judikatif.
Ciri khas dari pemerintahan dalam Negara ialah, bahwa pemerintah ini mempunyai kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu Negara, yaitu yang berada dalam wilayah itu. Dengan ajarannya itu Montesquieu berpendapat bahwa apabila kekuasaan Negara itu dipisahkan secara tegas menjadi tiga , yaitu : kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh suatu badan yanhg berdiri sendiri ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan absolutisme.
Ketiga poros kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu sama lain, baik mengenai orangnya maupun fungsinya. Ajaran tentang pemisahan kekuasaan dari Montesquieu kemudian oleh Immanuel Kant diberi nama Trias Politica (Tri = tiga, As=poros/pusat, dan Politica = kekuasaan).
Jika dibandingkan antara pendapat Locke dan Montesquieu, terlihat ada perbedaan sebagai berikut:
a. Menurut John Locke, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif, karena mengadili itu berarti melaksanakan Undang-Undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan berdiri sendiri.
b. Menurut Montesquieu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif. Sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.

Dalam perkembangannya, ternyata cara pembedaan kekuasaan dilakukan oleh Montesquieu lebih dapat diterima. Doktrin trias politika ini banyak mempengaruhi orang-orang Amerika pada masa Undang-Undang Dasarnya dirumuskan, sehingga dokumen-dokumen itu dianggap paling banyak mencerminkan trias politika dalam konsep aslinya, namun para penyusun Undang-Undang Dasar Amerika merasa perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaanya, kecenderungan ini dibendung dengan mekanisme check and balance (pengawasan dan keseimbangan) dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.

1. Konsep Negara Hukum

Diskursus tentang negara hukum dalam ilmu pengethaun ketatanegaraan sejak zaman dahulu sampai sekarang. Negara hukum pada prinsipnya menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Pengertian negara hukum harus dibedakan dengan pengertian kedaulatan hukum yang antara lain di anut oleh Krabbe yang berarti adalah kedaulatan atau kekuasaan tertinggi yaitu kekuasaan yang dalam taraf terakhir dan tertinggi berwenang memberi putusan adalah hukum.
Ada beberapa ciri khas dari suatu negara hukum :
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
2. Perdilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak di pengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apapun.
3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Sri soemantri lebih mempertegas lagi mengenai unsur-unsur yang terpenting dalam negara hukum yang dirinci menjadi 4 (empat) unsur yaitu :
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan,
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara)
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara,
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Control).

Konsep negara hukum sangat terkait dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Dalam literatur lama pada dasarnya sistem hukum didunia dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu sistem hukum eropa kontinental dan sistem hukum anglo saxon, sehingga kedua sistem itu seolah-olah membedah dunia hukum menjadi dua kubu. Sedangkan tulisan-tilisan yang datang kemudian menyebutkan selain kedua sistem tersebut, tyerdapat juga sistem hukum lain seperti sistem hukum islam, sistem hukum sosialis, dan lain-lain.
Berbicara tentang prinsip-prinsip dalam negara hukum tidak mungkin terlepas dari konsepsi negara hukum itu sendiri. Dilihat dari sejarah hukum, konsep negara hukum adalah berbeda-beda. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa ada tiga macam konsep negara hukum, yaitu Rechstaat, the rule of law, dan negara hukum pancasila. Dewasa ini menurut M. Tahir Azha dalam kepustakaan ditemukan lima macam konsep negara hukum, yaitu :
1. Nomokrasi islam, adalah konsep negara hukum yang pada umumnya diterapkan dinegara-negara islam.
2. Rechstaat , adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara eropa kontinental, misalnya Jerman, Prancis, dan belanda.
3. Rule of Law, adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon, seperti inggris dan Amerika Serikat.
4. Socialist Legality, adalah negara hukum yang diterapkan dinegara-negara komunis.
5. Konsep negara hukum Pancasila adalah konsep negara hukum yang diterapkan di Indonesia.

Dari kelima konsep negara hukum tersebut, masing-masing memiliki prinsip-prinsip utama yang dianut, yang satu lainnya dapat kita temukan persamaan maupuin perbedannya. Konsep Rechstaat dan rule of law sama-sama merupakan konsepsi negara hukum dalam pengertian bahasa kita di indonesia. Rechstaat adalah konsep negara hukum menurut versi dan tradisi Eropa. Akan tetapi, pengertian seperti yang dipahami saat ini berbeda dari masa klasik dulu. Demikian pula konsep Rule of Law yang kurang lebih juga merupakan konsepsi negara hukum menurut versi dan tradisi Anglo Saxon.