Selasa, 14 Juni 2011

KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


A.      LATAR BELAKANG
Salah satu berkah dari reformasi adalah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sejak di keluarkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959 yang memerintahkan kembali ke Undang-Undang Dasar  1945 sampai berakhirnya keuasaan Presiden Soeharto, praktis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum pernah diubah untuk di sempurnakan, padahal begitu banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan produk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tersebut.
 Salah satu hasil perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah munculnya lembaga-lembaga negara baru yang secara otomatis mengubah sistem ketatanegaraan yang kita anut, diantaranya adalah dibidang kekuasaan kehakiman. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kekuasaan kehakiman hanya  dilakukan oleh satu lembaga negara yaitu Mahkamah Agung. Kekuasaan Mahkamah Agung bukan hanya berada di bidang peradilan umum seperti mengadili masalah-masalah pidana, perdata maupun masalah sengketa Tata Usaha Negara. Akan tetapi, kekuasaan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman juga memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang .
Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kekuasaan kehakiman tidak hanya dipegang oleh satu lembaga negara saja. Melainkan oleh dua lembaga negara yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Kedua lembaga peradilan ini sama-sama mempunyai wewenang dalam pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) sebagaimana yang diatur dalam pasal 24A dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan ini tidaklah berubah dan tetap melekat pada Mahkamah Agung. Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga kekuasaan kehakiman dalam bidang judicial review adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.  
Pertanyaan yang seringkali muncul adalah bagaimanakah halnya jika Mahkamah Konstitusi sedang melakukan judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang mana undang-undang tersebut juga sedang dijadikan dasar tuntutan di Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya. Salah satu contoh peristiwa hukum yang terjadi berkaitan dengan pertanyaan tersebut yaitu ketika Tim Pembela Muslim  (TPM) yang bertindak sebagai kuasa hukum Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron memohon judicial review Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati terhadap Undang-Undang Dasar tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Tim Pembela Muslim (TPM) bahkan nekat meminta putusan provisi meski Undang-Undang Mahkamah Konstitusi belum mengakomodirnya.[1] TPM yang bertindak sebagai kuasa hukum terpidana Bom Bali -Amrozi, Imam Samudera, dan Ali Ghufron- meminta agar eksekusi terpidana tersebut ditunda terlebih dahulu sampai keluar Putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang di atur hanyalah ketika pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang dilakukan di Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Selanjutnya bagaimana ketika undang-undang yang sedang di uji di Mahkamah Konstitusi tersebut sedang menjadi dasar tuntutan perkara seperti perkara pidana, perkara perdata maupun sengketa Tata Usaha Negara di peradilan dibawah Mahkamah Agung atau di Mahkamah Agung?
  Seiring dengan hal tersebut, bagaimanakah halnya juga jika ada peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang (seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah dan sebagainya) yang sudah diuji di Mahkamah Agung dan dinyatakan tidak bertentangan dengan undang-undang, akan tetapi setelah itu ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa undang-undang yang sebelumnya digunakan untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang tersebut (peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah dan sebagainya) dinyatakan beretentangan dengan Undang-Undang Dasar tahun 1945. Apakah secara otomatis peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang merupakan peraturan pelaksana maupun peraturan yang muncul sebagai jabaran undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi tersebut dengan sendirinya tidak berlaku dikarenakan bertentangan dengan konstitusi ataukah peraturan tersebut tetap berlaku dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat prospektif atau berlaku kedepan, bukan berlaku surut karena juga Mahkamah Agung telah memutuskan sebelumnya bahwa peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang dimohonkan untuk diuji tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, padahal undang-undangnya sendiri dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi setelah Mahkamah Agung mengeluarkan putusan tersebut.

B.       RUMUSAN MASALAH
Berawal dari uraian latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Status Undang-undang yang sedang di Judicia Review di Mahkamah Konstitusi dan juga dijadikan dasar tuntutan di Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya?
2.    Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sudah di Uji oleh Mahkamah Agung sedangkan undang-undang yang menjadi dasar pengujianya dinyatakan  bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi?

C.      TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui Status Undang-undang yang sedang di Judicia Review di Mahkamah Konstitusi dan juga dijadikan dasar tuntutan di Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya dan .untuk mengetahui Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sudah di Uji oleh Mahkamah Agung sedangkan undang-undang yang menjadi dasar pengujianya dinyatakan  bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi.
2.      Manfaat Penelitian
a)      Manfaat Secara Teoritis
Untuk memperdalam pengetahuan tentang kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi khususnya dalam pengujian peraturan perundang-undangan serta untuk mengetahui Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sudah di Uji oleh Mahkamah Agung sedangkan undang-undang yang menjadi dasar pengujianya dinyatakan  bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi.
b)      Manfaat Secara Praktis
Dapat dijadikan sumber acuan dan pedoman bagi para pemegang dan pelaksana kekuasaan kehakiman dan sebagai bahan bacaan bagi para pecinta ilmu hukum khususnya dibidang hukum tata negara serta dapat dijadikan sebagai bahan ajar bagi mata kuliah hukum tata negara.

D.      RUANG LINGKUP PENELITIAN
Ruang lingkup kajian penelitian ini terbatas pada asas-asas hukum, norma-norma hukum, teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi  sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dalam pengujian peraturan perundang-undangan.

E.       TINJAUAN PUSTAKA
1.    Konsep Negara Hukum
Diskursus tentang negara hukum dalam ilmu pengethaun ketatanegaraan sejak zaman dahulu sampai sekarang. Negara hukum pada prinsipnya menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Pengertian  negara hukum harus dibedakan dengan pengertian kedaulatan hukum    yang antara lain di anut oleh Krabbe yang berarti adalah kedaulatan atau kekuasaan tertinggi yaitu kekuasaan yang dalam taraf terakhir dan tertinggi berwenang memberi putusan adalah hukum.[2]
Ada beberapa ciri khas dari suatu negara hukum :
1.      Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
2.      Perdilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak di pengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apapun.
3.      Legalitas dalam arti hukum  dalam segala bentuknya. [3]

Sri soemantri lebih mempertegas lagi mengenai unsur-unsur yang terpenting dalam negara hukum yang dirinci menjadi 4 (empat) unsur yaitu :
1.      Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan,
2.      Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara)
3.      Adanya pembagian kekuasaan dalam negara,
4.      Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Control).[4]

Konsep negara hukum sangat terkait dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Dalam literatur lama pada dasarnya sistem hukum didunia dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu sistem hukum eropa kontinental dan sistem hukum anglo saxon, sehingga kedua sistem itu seolah-olah membedah dunia hukum menjadi dua kubu. Sedangkan tulisan-tilisan yang datang kemudian menyebutkan selain kedua sistem tersebut, tyerdapat juga sistem hukum lain seperti sistem hukum islam, sistem hukum sosialis, dan lain-lain.
Berbicara tentang prinsip-prinsip dalam negara hukum tidak mungkin terlepas dari konsepsi negara hukum itu sendiri. Dilihat dari sejarah hukum, konsep negara hukum adalah berbeda-beda. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa ada tiga macam konsep negara hukum, yaitu Rechstaat, the rule of law, dan negara hukum pancasila. Dewasa ini menurut M. Tahir Azha dalam kepustakaan ditemukan lima macam konsep negara hukum, yaitu :
1.      Nomokrasi islam, adalah konsep negara hukum yang pada umumnya diterapkan dinegara-negara islam.
2.      Rechstaat , adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara eropa kontinental, misalnya Jerman, Prancis, dan belanda.
3.      Rule of Law, adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon, seperti inggris dan Amerika Serikat.
4.      Socialist Legality, adalah negara hukum yang diterapkan dinegara-negara komunis.
5.      Konsep negara hukum Pancasila adalah konsep negara hukum  yang diterapkan di Indonesia.[5]

Dari kelima konsep negara hukum tersebut, masing-masing memiliki prinsip-prinsip utama yang dianut, yang satu lainnya dapat kita temukan persamaan maupuin perbedannya. Konsep Rechstaat dan rule of law  sama-sama merupakan konsepsi negara hukum dalam pengertian bahasa kita di indonesia. Rechstaat adalah konsep negara hukum menurut versi dan tradisi Eropa. Akan tetapi, pengertian seperti yang dipahami saat ini berbeda dari masa klasik dulu. Demikian pula konsep Rule of Law  yang kurang lebih juga merupakan konsepsi negara hukum menurut versi dan tradisi Anglo Saxon.

2.      Teori Pemisahan Kekuasaan Negara
Berbicara tentang kekuasaan kehakiman dalam suatu negara hukum tidak akan ada artinya apabila kekuasaan penguasa negara masih bersifat absolut dan tidak terbatas.  Sehingga kemudian muncul untuk membatasi kekuasaan penguasa negara, agar dalam menjalankan pemerintahan tidak bersifat sewenang-wenang. Dalam upaya membatasi kekuasaan penguasa, perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara kedalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarkhi (Raja absolut). Teori mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan negara menjadi sangat penting artinya untuk melihat bagaimana posisi atau keberadaan kekuasaan dalam sebuah struktur keuasaan negara. Gagasan mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan negara mendapatkan dasar  pijakan, antara lain, dari pemikiran jhon Locke dan Montesquieu.
a.      Jhon Locke
Dalam bukunya yang berjudul “Twi treaties Of Goverment´Jhon Locke mengusulkan agar kekuasaan didalam negara itu dibagi-bagi kepada organ-organ negara yang berbeda. Menurut jhon locke, agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam negara kedalam tiga macam kekuasaan, yaitu :
a.       Kekuasaan legislatif (membuat undang-undang)
b.      Kekuasaan Eksekutif ( Melaksanakan undang-undang)
c.       Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.[6]
b.      Montesquieu
Melaui bukunya “Vesprit des lois Montesquieu” pada tahun 1748  menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang diwarkan Jhon locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara kedalam tiga poros kekuasaan yaitu:
a.       Kekuasaan perundang-undangan (Legislatif)
b.      Kekuasaan melaksanakan pemerintahan, eksekutif dan
c.       Kekuasaan kehakiman, judikatif.[7]
Ciri khas dari pemerintahan dalam negara ialah, bahwa pemerintah ini mempunyai kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu negara, yaitu yang berada dalam wilayah itu.[8] Dengan ajarannya itu Montesquieu berpendapat bahwa apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi tiga , yaitu : kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh suatu badan yanhg berdiri sendiri ini akan menghilankan kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan absolutisme.[9]
            Ketiga poros kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu sama lain, baik mengenai orangnya maupun fungsinya. Ajaran tentang pemisahan kekuasaan dari Montesquieu kemudian oleh Immanuel Kant diberi nama Trias Politica (Tri = tiga, As=poros/pusat, dan Politica = kekuasaan).[10]
            Jika dibandingkan antara pendapat Locke dan Monterquieu, terlihat ada perbedaan sebagai berikut:
a.       Menurut Locke, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif, karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan berdiri sendiri.
b.      Menurut Montesquieu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif. Sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.[11]

Dalam perkembangannya, ternyata cara pembedaan kekuasaan dilakukan oleh Montesquieu lebih dapat diterima. Doktrin trias politika ini banyak mempengaruhi orang-orang Amerika pada masa Undang-Undang Dasarnya dirumuskan, sehingga dokumen-dokumen itu dianggap paling banyak mencerminkan trias politika dalam konsep aslinya, namun para penyusun Undang-Undang Dasar Amerika merasa perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaanya, kecenderungan ini dibendung dengan mekanisme check and balance (pengawasan dan keseimbangan) dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.[12]
3.        Kekuasaan Kehakiman
Dalam ilmu politik, kekuasaan sering dipergunakan untuk menganalisis kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Dalam ilmu hukum, menurut Bagir Manan, kekuasaan lebih tepat dipergunakan untuk membagi ketiga kekuasaan itu dan kekuasaan lebih tepat dipergunakan untuk legislative, kewenangan untuk eksekutif, dan kompetensi untuk yudikatif.[13]
Jika analisis di atas diletakkan dalam konteks ajaran Monesquieu dalam ajaran Trias Politika murni, kekuasaan tidak hanya berbeda, tetapi juga merupakan suatu institusi yang harus terpisah satu sama lainnya di dalam melaksanakan kewenangannya.
Menurut doktrin pemisahan kekuasaan tersebut, fungsi dari kekuasaan kehakiman adalah melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara guna mencegah terjadinya proses instrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian dari kekuasaan.[14] Telah jelas di sini bahwa lembaga peradilan memegang peranan penting dalam menjaga agar jangan terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Untuk dapat disebut sebagai lembaga peradilan haruslah memenuhi persyaratan tertentu, anatara lain:
1.      Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umur yang dapat diterapkan pada suatu persoalan;
2.      Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret;
3.      Ada sekurang-kurangnya 2 (dua) pihak;
4.      Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.[15]

            Hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tidak terlepas dalam hal pemisahan kekuasaan (separation of power), gagasan demokrasi (democracy), gagasan Negara hukum (baik dalam pengertian rechstaat maupun rule of law), dan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary).
Untuk mendapatkan pengertian dan pemahaman tentang pengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka maka secara konseptual dapat dilakukan dengan melalui langkah pendekatan, dalam hal ini dengan memberikan pengertian terhadap makna kemerdekaan dan kebebasan hakim. Kemerdekaan dan kebebasan hakim merupakan prinsip yang sangat esensial dalam system peradilan yang berkaitan dengan penegak hukum. Adapun pengertian kemerdekaan dan kebebasan hakim dapat dijabarkan sebagai berikut:
“Hakim itu merdeka dan bebas dari pengaruh siapapun. Artinya hakim bukan hanya harus bebas dan dari pengaruh kekuasaan eksekutif atau legislative. Merdeka dan bebas mencakup merdeka dan bebas dari pengaruh unsur-unsur kekuasaan yudisial itu sendiri. Demikian pula merdeka dan bebas dari pengaruh kekuatan-kekuatan di luar jaringan pemerintah, seperti pendapat umum, pers dan sebagainya. Kemerdekaan dan kebebasan hakim hanya terbatas pada fungsi hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudisial. Dengan perkataan lain, kemerdekaan dan kebebasan hakim ada pada fungsi yudisialnya yaitu menetapkan hukum dalam keadaan konkrit.”[16]

Kemandirian dan kemerdekaan mempunyai pengertian bahwa mandiri berarti di bawah atap sendiri dan tidak berada di bawah atap departemen atau badan lain. Sedangkan merdeka berarti dalam memutus perkara selalu bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan Negara lainnya
Dari dua perspektif pendekatan diatas dapat dideskripsikan bahwa selain kekuasaan pemerintah kekuatan ekstra yudisial pun mempengaruhi kebebasan dan kemerdekaan hakim serta kebebasan dan kemerdekaan hakim tidak berarti menggunakan kekuasaan sebebas-bebasnya tetapi hanya pada ketentuan undang-undang.
Penyelenggara kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.[17]
Sejalan dengan tugas pokok tersebut, maka pengadilan tidak boleh menolak untuk memriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas. Hal ini berarti pengadilan wajib untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara tersebut.
Dalam ketentuan pasal 10 Undang-undang No 4 Tahun 2004  tentang kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
4.      Teori Hirarki Norma Hukum
Teori tentang “stufen bau das recht “ pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen  dan kemudian dikembangkan oleh muridnya Hans nawiasky. Inti ajaran “stufen bau das Recht” atau “ The Hierarchy of law” bahwa norma.hukum merupakan merupakan suatu susunan berjenjang dari setiap norma yang lebih tinggi.[18]
Teori perundang-undangan (gezetsgebungstheorie) pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan perundang-undangan (gezetsgebugswissenzshaft) yang berupaya mencari kejelasan makna atau pengertian-pengertian hukum dan peraturan perundang-undangan secara kognitif.
  Salah satu intelektual madzhab hukum murni yang pemikirannya tentang grundnorm dan hirarki norma hukum, berpengaruh besar terhadap konstruksi hirarki perundang-undangan diberbagai negara, yakni Hans Kelsen mengkategorikan hukum sebagai norma yang dinamik (nomodynamics.)[19] Menurut konsep ini hukum adalah sesuatu yang dibuat melalui suatu prosedur tertentu, dan segala sesuatu yang dibuat menurut cara ini adalah hukum. Dalam kaitannya dengan konstitusi, hukum dikonsepsikan sebagai sesuatu yang terjadi menurut cara yang ditentukan konstitusi bagi pembentukan hukum.
Lebih jauh Kelsen memngungkapkan tentang karakter khas dan dinamis dari hukum yaitu:
“Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya, dan juga sampai derajad tertentu menentukan isi norma lainnya tersebut. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma lainnya digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi”. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, dan bahwa regessus ini diakhiri oleh suatu norma dasar, oleh karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum”[20]

Selanjutnya Kelsen  mengemukakan teorinya tentang tata urutan atau susunan hirarkis dari tata hukum suatu negara, yaitu  dengan mempostulisasikan norma dasar, yakni konstitusi dalam arti material adalah urutan tertinggi didalam hukum nasional.[21] Untuk memahami lebih mendalam  teori “Stufen bau das recht “, harus dihubungkan dengan ajaran Kelsen yang lainnya yaitu “Reine Rechtslehre” atau “The Pure Theory of Law” (Teori Murni Tentang Hukum) dan bahwa hukum itu tidak lain “Command of the sovereign” (kehendak yang berkuasa). [22] Inti ajaran tersebut sebagai berikut:[23]
1.       Teori  ini bersumber dari proposisi bahwa suatu teori hukum adalah hukum sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana seharusnya. Hukum terdiri dari “ought propositions” atau norma-norma.
2.       Suatu teori hukum harus dibedakan dari hukum itu sendiri. Fungsi teori hukum adalah untuk mengorganisasikan aturan-aturan hukm yang sangta banyak dan kompleks itu kedalam suatu pola yang teratur.
3.       Suatu teori hukum harus bersifat umum (general theory) dan uniform dalam arti bahwa harus dapat diterapkan pada semua waktu dan disemua tempat. Karena bersifat umum, maka teori hukum harus bebas dari hal-hal yang bersifat etika, politik,  sosiologi, sejarah, dan lainnya. Itulah sebabnya, teori ini disebut teori hukum murni (Reine Rechtslehre).
4.       Suatu tata hukum atau tertib hukum adalah sistem norma, tidak dapat dikatakan apakah suatu norma benar atau salah, yang dapat dikatakan adalah bahwa suatu norma berlaku  atau tidak berlaku . dapat berlakunya  atau validitas suatu norma ditentukan oleh norma yang  lebih tinggi tingkatnnya yang memerintah pembentukan norma yang tadi dan validitas yang lebih tinggi itu pada gilirannya ditentukan oleh norma yang tingkatannya lebih tinggi lagi, begitu seterusnya sampai tiba pada norma yang tertinggi tingkatannya karena tidak ada lagi norma lain diatasnya. Norma itu merupakan norma kesatuan karena sumber validitasnya adalah sama, yaitu norma tertinggi tadi yang disebut norma dasar (Grundnorm, fundamenal norm).
5.       Teori ini hukum dikonsepsikan sebagai proses konkreatisasi yang dinamis, mulai dari norma tertinggi sampai pada norma yang terendah.tata atau tertib hukum terdiri dari norma-norma yang berjenjang, tersusun secara piramida,  dan berpuncak pada norma dasar. Menurut hans kelsen tata hukum adalah identik dengan tata negara sehingga dia tidak mengakui ajaram kedaulatan.
6.       Suatun sistem hukum diwujudkan oleh semua undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat dan diundangkan berdasarkan kekuasaan yang secara langsung atau tidak langsung diberikan oleh norma dasar. Menurut Hans Kelsen hanya ada satu “grundnorm” yang menghasilkan “The first historical constitutions”.
7.       Norma dasar bersifat hipotesis , dianggap telah ada (Vorausgesezt presuppesed). Validitas  norma dasar ditentukan oleh terdapat tidaknya sesuatu “minimum of effectiveness” yaitu apakah suatu sistem normanya dipatuhi sampai derajat tertentu.

Masih menurut Kelsen, kendati konstitusi merupakan puncak tertinggi dalam hirarki norma hukum, namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya konflik atau penyimpangan peraturan dari konstitusi. Mengenai hal ini, Kelsen mengemukakan prinsip lex posterior derogat lex priori dan prinsip desuotedo untuk mengatasi terjadinya konflik hukum tersebut.[24]
Prinsip atau azas lex posterior derogat lex priori adalah suatu undang-undang dibatalkan oleh Undang-undang lainnya. Sedangkan prinsip desuetudo adalah akibat hukum yang bersifat negatif dari kebiasaan yang dapat mengabaikan undang-undang atau berakibat tidak efektinya suatu undang-undang. Atau dengan kata lain, bisa saja suatu undang-undang kehilangan validitasnya karena dihapus oleh  suatu kebiasaan.[25]
“Gagasan Kelsen mengenai berjenjangnya lapisan norma hukum dalam suatu hirarki, kelak dikemudian hari dikenal sebagai teori jenjang/hirarki norma hukum (stufentheory). Dalam bahasa Bagir Manan, ajaran tata urutan pertingkatan peraturan perundang-undangan (stefenbau des recht) mengandung makna: pertama, peraturan yang lebih rendah harus mempunyai sumber atau dasar pada peraturan yang lebih tinggi; kedua, peraturan perundang-undangan merupakan sebuah tertib hukum (legal order); dan ketiga, peraturan perundang-undangan untuk menjamin tata urutan itu dalam suatu sistem yang tertib.”[26]

Teori Kelsen ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh salah satu muridnya, yakni Hans Nawiasky. Didalam bukunya berjudul Allgemenie Rechtslehre, Nawiasky menyatakan bahwa suatu norma hukum di negara manapun tidak saja selalu berlapis dan berjenjang, dimana norma yang dibawah berlaku dan mengacu pada norma diatasnya, sedangkan norma yang lebih tinggi lagi, tetapi juga norma hukum itu berkelompok-kelompok.[27] Pengelompokan norma penting dilakukan dalam ilmu konstitusi, yaitu berguna untuk mengurai unsur-unsur suatu konstitusi sebagai norma dasar , kemudian unsur-unsur yang terpenting dari konstitusi itu dimasukkan kedalam rumusan suatu undang-undang.[28] Kelompok norma hukum itu, ialah: (i) norma hukum fundamental negara (staatsfundamentalnorm); (ii) aturan dasar atau aturan pokok negara (staasgrungezets); (iii) Undang-undang formal (formell gesezt); dan  (iv) aturan pelaksana dan aturan otonom (verordnung und autonome satzung).[29] Teori yang dikembangkan dari stufentheorie Kelsen tersebut , selanjutnya oleh Nawiasky dinamai Die theorie vom stuferdnung der rechtsnormen.
Pada tahap lebih lanjut, teori hirarki norma hukum   yang digagas oleh Kelsen dan kemudian dimodifikasi oleh nawiasky, kedua teori tersebut seiring dengan kebutuhan dan dinamika hukum ketatanegaraan kemudian disintesakan menjadi theorie von stufenaufbau de rechtsordnung Kelsen-Nawiasky.[30]
5.      Macam-macam Hak uji
Sejarah mengenai hak uji terhadap peraturan perundang-undangan dimulai dari Amerika Serikat melalui kasus Madison Vs Marbury pada tahun 1803. Hakim Agung John Marshall dalam memutus kasus tersebut menyatakan bahwa undang-undang negara bagian sebagai undang-undang yang tidak sah dan bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat.
Pengujian peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan agar tidak merugikan hak-hak warga negara. Tolak ukur dalam pengujian ini adalah konstitusi. Belajar dari pernyataan Hakim Marshall, bahwa konstitusi itu membatasi kakuasaan pembuat undang-undang yang berarti bahwa para legislatur tidak boleh membuat undang-undang yang substansinya bertentangan dengan konstitusi.[31]
Itu maka dalam hak uji materiil dikenal adanya supremasi konstitusi dimana konstitusi menjadi dasar nilai tertinggi dalam menguji peraturan perundang-undangan. Bahkan jika seorang hakim dalam menangani suatu kasus dihadapkan pada pilihan antara menggunakan dasar konstitusi atau menggunakan perangkat hukum yang bertentangan dengan konstitusi, padahal keduanya relevan pada kasus yang ditanganinya, maka  dia harus beroihak pada konstitusi.
Secara teoritis maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak uji, yaitu hak uji formil (formele toetsingsrecht) dan hak uji materiil (materiele toetsingsrecht).[32]
a.    Hak Uji Formal
       Hak uji formal adalah wewenang untuk menilai apakah proses terjadinya suatu produk legislatif (Undang-Undang) sesuai atau tidak dengan cara atau prosedur yang ditetapkan. Dengan demikian dalam hak uji formil, yang dinilai adalah dari segi tatacara atau prosedur pembuatan suatu peraturan perundang-undangan oleh penguasa, apakah sudah sesuai ataukah tidak dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya  semua bentuk peraturan perundang-undangan telah diatur tata cara pembuatannya. Apabila tata cara pembuatan tidak dipenuhi, dianggap tidak sah dan tidak mengikat kepada rakyat. [33]
Di dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 misalnya, ditentukan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menetapkan pula bahwa tiap Undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi menurut ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Undang-undang itu adalah suatu bentuk peraturan yang dihasilkan oleh Presiden bersama-sama DPR. Dengan perkataan lain suatu peraturan dinamakan Undang-undang, apabila peraturan tersebut merupakan produk bersama kedua lembaga tersebut di atas. Atas dasar itulah, apabila ada Undang-undang ditetapkan tidak menurut prosedur yang telah, ditentukan, maka hak uji formal dapat dilakukan.
Secara umum yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formile toesting) itu adalah pengujian atas suatu produk hukum, bukan dari segi materinya.[34] Oleh sebab itu pengertian yang dapat dikembangkan dalam rangka pemahaman terhadap konsepsi pengujian formil itu bersifat sangat kompleks. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas  suatu undan-undang dari segi formilnya (formile toesting) adalah sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appopriate form), oleh institusi yang  tepat (appropiate institution) dan menurut prosedur yang tepat (appropiate procedur). Jika  dijabarkan dari ketiga kriteria ini, pengujian  formil ini dapat mencakup :
a.       Pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang,
b.      Pengujian atas bentuk, format, atau  struktur undang-undang;
c.       Pengujian  yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; dan
d.      Pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian  materiil.[35]

b.   Hak Uji Materiil
Dalam teori tentang pengujian Hak materiil yaitu wewenang untuk menilai apakah sebuah produk legislatif dari segi isinya (substansinya) bertentangan atau tidak dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. Jadi hak uji materiil ini berkaitan dengan isi atau substansi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.[36]
Jika pengujian undang-undang tersebut dilakukan atas materinya, maka pengujian demikian disebut pengujian materiil yang dapat mengakibatkan dibatalkannya sebagian materi undang-undang yang bersangkutan.[37] Apabila suatu Undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya pengikat.
Pengujian secara materiil dapat mengakibatkan undang-undang tersebut dibatalkan secara sebagian atau secara keseluruhan yaitu tergantung dari pasal-pasal mana yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau undang-undang yang berada diatasnya.

F.     METODE PENELITIAN
1.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah penelitian normatif dengan mempertimbangkan titik tolak pada sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia dan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

2.    Metode Pendekatan
Metode Penelitian dalam sebuah Penelitian mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat dipergunakan sebagai pedoman guna mempermudah dalam mempelajari, menganalisa dan memahami permasalahan yang sedang diteliti.
Dalam Penelitian ini agar memenuhi kriteri ilmiah dan dapat mendekati kebenaran, maka metode pendekatan yang digunakan adalah :
a.    Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Merupakan pendekatan yang mengkaji tentang asas-asas hukum, norma-norma hukum dan peraturan Perundang-Undangan baik yang berasal dari Undang-Undang, dokumen, buku-buku, dan sumber-sumber resmi yang berkaitan dengan Penelitian ini.
b.    Pendekatan Konsep (Konceptual Approach)
Adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dikaji.


c.    Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)
Adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara membandingkan kewenangan Mahkamah Agung dan mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam bidang pengujian peraturan peraturan perundang-undangan.
3.    Sumber dan jenis Bahan Hukum

Bahan hukum yakni berupa :
a.    Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersumber dari Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum maupun Setelah Perubahan  serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
b.    Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang meliputi buku-buku, referensi, makalah, majalah, hasil Penelitian dan lain-lain, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
c.    Bahan Hukum Tersier
Adalah bahan hukum yang menunjang dan memberikan penjelasan bagi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus dan ensiklopedia.
4.    Tehnik Pengumpulan Bahan hukum

Dalam proses pengumpulan bahan, peneliti menggunakan studi dokumenter, yaitu mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan Perundang-Undangan, jurnal, literatur dan karya tulis yang berhubungan dengan materi Penelitian.
5.    Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam studi kepustakaan, yaitu Peraturan Perundang-undangan dan literatur yang dimaksud, penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penjelasan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum menjadi khusus.

DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku dan Karya Tulis Ilmiah

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press

Budiarjo, Miriam, 2003. Dasar-Dasar ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Fatkhurohman, Dian Aminudin, Sirajudin, 2004, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Fatmawati, 2005. Hak menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Manan, bagir dan Kuntana Majnar, 2003. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Cet.2 Edisi revisi. Bandung: Alumni.

Prodjodikoro, Wirjono, 1977. Azas-azas  Hukum Tata Negara di Indonesia. Cet. 3  Jakarta: Dian rakjat

Soehino, 2000. Ilmu Negara. Cet.3 edisi Ketiga . Yogyakarta:Liberty

Sumali, 2003. Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), Malang: UMM Press

Sutiyoso, Bambang dan sri Hastuti puspitasari, 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.

Thalib, Abdul Rasyid, 2006. Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.



B.  Peraturan-Peraturan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 49  Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

C.Internet
http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=20060&cl=Berita






[1] http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=20060&cl=Berita

[2] Fatkhurohman, Dian Aminudin, Sirajuddin, Memahami Keberadaan Mahakamah Konstitusi di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2004) , hal 5
[3] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Jogjakarta: UII Press, 2005),hal 1
[4] Fatkhurohman, Dian Aminudin, Sirajuddin, Op.Cit, Hal 7
[5] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op.Cit hal 2
[6] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op.Cit hal 18

[7] Soehino, Ilmu Negara. Cet 3 Edisi Ketiga (Yogyakarta : Liberty, 2000), hal 117
[8] Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, cet.3 (Jakarta: Dian Rakjat, 1977) hal 2
[9] Soehino, Op. Cit, hal 117
[10] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op.Cit hal 18
[11]Ibid.,
[12] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta; PT.Gramedia Pustaka Utama,2003), hal 113
[13] Abdul rasyid Thaib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2006)
[14] Fatkhurohman, Op. Cit , hal 14
[15] Ibid., hal 16
[16] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.2, Edisi Revisi (Bandung: Alumni, 2003), hal 79
[17] Sutiyoso dan Puspitasari., Op.Cit hal 27
[18] Abdul rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: PT.Citra Adiitya Bakti, 2006), hal 367
[19] Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), (Malang: UMM Pres. 2003), hal 21
[20] Ibid., hal 22
[21] Ibid.,
[22] Thalib, Lo. Cit.,
[23] Ibid.,
[24] Sumali., Lo. Cit.,
[25] Ibid.,
[26] Ibid hal 22-23
[27] Ibid
[28] Thaib., Op.Cit hal 370
[29] Sumali.,Lo.cit
[30] Ibid
[31]  Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op.Cit hal 110
[32] Fatmawati, Hak Menguji Indonesia,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2005), ha 5
[33] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op.Cit hal 111

[34] Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta:Konstitusi Press, 2006), hal 62
[35] Ibid., hal 64
[36] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op.Cit hal 112
[37] Asshiddiqqie, Op.Cit, hal 58