Kamis, 07 Oktober 2010

Hukum Tata Negara Darurat

Dalam praktik, disamping kondisi negara dalam keadaan biasa ( ordinary condition ) atau normal ( normal condition ), kadang-kadang timbul atau terjadi keadaan yang tidak normal. Keadaan yang menimpa suatu negara yang bersifat tidak biasa atau tidaknrmal itu memerlukan pengaturan yang bersifat tersendiri sehingga fungsi-fungsi negara dapat terus bekerja secara efektif dalam keadaan yang tidak normal itu.
1. Istilah dan Pengertian Hukum Tata Negara Darurat
( a ) Istilah Hukum Tata Negara Darurat
Beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut Hukum Tata Negara Darurat di berbagai negara, sebagaimana yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut:
1. state of emergency dipakai di Irlandia, Afrika Selatan, India, Pakistan, dan sebagainya;
2. state of civil emergency dipakai di Belanda;
3. state of siege ( etat d’siege ), dipakai di Prancis, Belgia, Argentina, Brasil, Cile dan sebagainya;
4. state of war, dipakai di Belanda, Italia dan sebagainya;
5. state of internal war, dipakai di Uruguay;
6. estado de alerta, dipakai di Spanyol
7. state of exepcion, dipakai di Zaire;
8. estado de excepcion, dipakai Spanyol juga;
9. estado de sitio ( siege ), dipakai di Spanyol juga;
10. state of public danger, dipakai di Italia;
11. state of public emergency, merupakan istilah yan digunakan oleh PBB;
12. state of catastrophe, dipakai di Cile;
13. state of defence, dipakai di Jerman, Namibia dan sebagainya;
14. state of tension, dipakai di Jerman;
15. state of alarm, dipakai Aljazair;
16. state of urgency, dipakai di Aljazair dan sebagainya;
17. state of national defence, dipakai di Namibia;
18. state of national necessity, dipakai di Madagaskar;
19. state of special power, dipakai di Uruguay;
20. state of suspension of guarantee ( suspension of individual security ), dipakai di Uruguay;
21. general of partial mobilisation, pernah dipakai di Uni soviet dan sampai sekarang masih dipakai di Albania;
22. military regime, dipakai di Zaire;
23. martial law, dipakai di Amerika Serikat, Inggris, Polandia dan sebagainya;
24. keadaan darurat;
25. keadaan bahaya ( dalam Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 );
26. keadaan luar biasa;
27. keadaan kegentingan yang memaksa ( dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 ).

Berikut penjelasan Jimly Asshiddiqie tentang istilah Hukum Tata Negara Darurat tersebut diatas:
“Istilah-istilah tersebut diatas dipakai tergantung kepada kandungan makna yang dipahami di masing-masing bahasa yang berlaku di tiap-tiap negara. Istilah ‘ state of emergency’, misalnya, dipakai di banyak negara, seperti dalam naskah-naskah konstitusi Irlandia, Afrika Selatan, Pakistan, dan India. Sementara itu, istilah ‘state of siege’ atau ‘ etat d’siege’ dipakai dalam undang-undang dasar Prancis dan berbagai negara berbahasa Prancis lainnya, terutama negara-negara bekas jajahan Prancis. Hal ini berbeda sekali dengan istilah yang biasa digunakan di Inggris dan juga dipakai dalam konstitusi Amerika Serikat. Istilah ‘Martial Law’ ini, selain digunakan di Inggris dan di Amerika Serikat, juga dipakai dalam Konstitusi Polandia, dan banyak lagi negara lainnya.”

Sementara itu Prof. Mr. Sihombing, dalam bukunya, menggunakan istilah Hukum Tata Negara Darurat dan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., juga menggunakan istilah Hukum Tata Negara Darurat.
( b ) Pengertian Hukum Tata Negara Darurat
Menurut Herman Sihombing, pengertian hukum tata negara darurat adalah sebagai berikut :
“Hukum Tata Negara Darurat ( HTN Darurat ) selaku hukum tata negara darurat dalam keadaan bahaya atau darurat , ialah rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, kedalam kehidupan biasa menurut peraturan Perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.”

Sementara itu, Jimly Asshiddiqie mengemukakan tentang Hukum Tata Negara Darurat, sebagai berikut:
“Oleh karena itu, di dunia akademis, khususnya Hukun Tata Negara, perlu dibedakan antara Hukum Tata Negara yang berlaku dalam keadaan biasa atau normal dan Hukum Tata Negara yang berlaku dalam keadaan luar biasa atau tidak normal. Hukum Tata Negara yang terakhir inilah yang kita namakan Hukum Negara Darurat”.








2. Klasifikasi Istilah Hukum Tata Negara Darurat
Herman Sihombing membedakan Hukum Tata Negara Darurat kedalam beberapa jenis Hukum Tata Negara Darurat baik dari segi corak, bentuk dan sumbernya, sebagai berikut:
1. Hukum Tata Negara Darurat Objektif ( Objective Staatsnoodrecht )
2. Hukum Tata Negara Darurat Subjektif (Subjective Staatsnoodrecht)
3. Hukum Tata Negara Darurat Tertulis (Geschreven Staatnoodrecht )
4. Hukum Tata Negara Darurat Tidak Tertulis ( Ongeschreven Staatsnoodrecht ).
Jimly Asshiddiqie memberikan penjelasan tentang klasifikasi Hukum Tata Negara Darurat yang disampaikan oleh Herman Sihombing sebagai berikut :
“Oleh para sarjana, Hukum Tata Negara Darurat dalam arti ‘noodstaatsrecht’ itu kadang-kadang dibedakan dari pengertian Hukum Tata Negara Darurat dalam arti ‘staatsnoodrecht’. Sementara itu, menurut sejarahnya, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia sejak aman Hindia Belanda dibedakan dalam tingkatan darurat dan darurat perang.”

Selanjutnya Jimly Asshiddiqie menjelaskan sebagai berikut :

“Istilah Hukum Tata Negara Darurat ( HTN Darurat ) itu dipakai sebagai terjemahan perkataan ‘staatsnoodrecht’ yang membahas mengenai hukum negara darurat dan negara dalam keadaan bahaya ( nood ) itu. Oleh sebab itu, harus dibedakan anatara ‘staatsnodrecht’ dan ‘nodstaatsrecht’. Perkataan ‘nood’ dalam ’staatsnoodrecht’ menunjuk kepada keadaan darurat negara, sedangkan ‘nood’ dalam ‘staatsrecht’ menunjuk kepada pengertian keadaan hukumnnya yang bersifat darurat.

Penjelasan selanjutnya dari Jimly Asshiddiqie sebagai berikut:
“Di samping itu, pokok soal dalam ‘noodstaatsrecht’ adalah ‘staatsrecht’, sedangkan dalam ‘staatsnodrecht’ adalah ‘staatsnood’. Artinya, yang dipersoalkan dalam istilah ‘noodstaatsrecht’ itu adalah ‘hukum tata negaranya yang berada dalam keadaan darurat’, sedangkan dalam istilah ‘staatsnodrecht’ negaranya yang berada dalam keadaan darurat sehingga hukum yang berlaku adalah hukum yang memang dimaksudkan untuk berlaku dalam keadaan darurat. Dengan demikian, pengertian hukum yang dimaksud dalam ‘staatsnoodrecht’ lebih luas daripada ‘noodstaatsrecht’ yang hanya menyangkut hukum tata negara saja. Dengan demikian pula, istilah yang dipakai cukup dua saja, yaitu; (i) hukum tata negara darurat sebagai gabungan antara pengertian ‘noodstaatsrecht’ dan ‘staatsnoodrecht’ dalam arti objektif; dan (ii) hukum tata negara subjektif sebagai pengganti atau terjemahan istilah ‘staatsnoodrecht’ dalam arti subjektif dan tidak tertulis.”

Selasa, 05 Oktober 2010

azas peraturan per-uu-an

Dalam hukum terdapat azas perundang-undangan, antara lain :
1. Azas legalitas, berisikan "nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali", yang artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali telah ada ketentuan atau undang-undangnya. Hal ini dapat dipahami bahwa segala perbuatan pelanggaran atau kejahatan apapun tidak dapat dipidana atau diberi hukuman bila tidak ada undang-undang yang mengaturnya.
2. "Lex specialis derogat legi generali", artinya hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Atau segala undang-undang ataupun peraturan yang khusus mengabaikan atau mengesampingkan undang-undang yang umum. Contoh : Apabila terdapat kekerasan dalam rumah tangga, maka pelaku dapat dikenai UU KDRT, bukan KUHPidana. Pemakaian hukum yang khusus ini antara lain karena hukumannya yang lebih berat dibandingkan dengan KUHPidana.
3. "Lex posteriori derogat legi priori", artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Maksudnya ialah, UU yang baru mengabakan atau mengesampingkan UU yang lama dalam hal yang sama. Dengan kata lain UU yang baru ini dibuat untuk melengkapi dan menyempurnakan serta mengoreksi UU yang lama. Sehingga UU yang lama sudah tidak berlaku lagi.
4. "Lex superior derogat legi inferiori", artinya hukum yang urutan atau tingkatnya lebih tinggi mengesampingkan atau mengabaikan hukum yang lebih rendah. Bila terdapat kasus yang sama, akan tetapi ketentuan undang-undangnya berbeda, maka ketentuan undang-undang yang dipakai adalah UU yang tingkatnya lebih tinggi. Contoh : UU lebih tinggi dari PP, maka PP diabaikan dan harus berpatokan pada UU.

interpretasi hukum

1. Penafsiran Undang-Undang Secara Tata Bahasa (Gramatikal), yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang;
2. Penafsiran Undang-Undang Secara Sistematis, penafsiran sistematis menitik beratkan pada kenyataan bahwa undang-undang tidak terlepas, tetapi akan selalu ada hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya sehingga seluruh perundang-undangan itu merupakan satu kesatuan yang tertutup, yang rapi dan teratur.
3. Penafsiran Undang-Undang Secara Historis, adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat terjadinya suatu undang-undang itu dibuat.
4. Penafsiran Undang-Undang Secara Sosiologis (Teleologis), yaitu penafsiran yang dilakukan dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-undang di dalam masyarakat.
5. Penafsiran Undang-Undang Secara Autentik, merupakan suatu penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang.
6. Penafsiran Undang-Undang Secara Ekstensif, adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan rundang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalam, misalnya “aliran listrik” termasuk juga disamakan dengan “benda”.
7. Penafsiran Undang-Undang Secara Restriktif, adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang.
8. Penafsiran Undang-Undang Secara Analogis, adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang terdapat dalam undang-undang.
9. Penafsiran Undang-undang Secara A Contrario, adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Maka dengan berdasarkan perlawanan pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak diliputi oleh undang-undang yang dimaksud atau berada di luar ketentuan undang-undang tersebut.